4 Kali Wawan Berucap "Saya Harus Sama Mbah"
:Turun dari pesawat di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, Selasa sore, redaktur senior VIVAnews.com, Yuniawan Nugroho, tak sempat beristirahat. Ia langsung tancap gas ke rumah juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan, di Dusun Kinahrejo untuk menunaikan tugasnya.
Agus Winaryo, kerabat Mbah Maridjan, yang menjemput ayah dua anak ini di Apotek Kentungan, Yogyakarta, saat dihubungi Rabu 27 Oktober 2010 menuturkan kisah terakhirnya bersama Wawan, panggilan akrab Yuniawan. Inilah penuturannya:
Bisa cerita bagaimana saat-saat terakhir bersama Almarhum?
Saya mengenal Mas wawan saat ikut kunjungan kerja ke Jerman beberapa tahun silam. Pekan lalu dia kontak saya lagi, mungkin ia ingat cerita saya soal Merapi dan Mbah Maridjan. Jadi ia telepon saya. Saat baru turun dari pesawat kemarin (Selasa 26 Oktober 2010) Mas Wawan menelepon saya.
Kami kemudian janjian bertemu di depan Apotek Kentungan, Jalan Kaliurang. Saya bersama kerabat saya Tutur yang menjadi sopir. Waktu bertemu sudah sore sekali, sekitar jam 16.30 WIB, jadi kami langsung berangkat menuju rumah Mbah Maridjan. Di jalan kami sempat makan dulu sebentar.
Ada yang dibicarakan secara khusus?
Sambil makan Mas Wawan memang sempat bertanya, saya harus mulai dari mana nanti. Saya balik bertanya, ya, yang Anda ingin ketahui dari Mbah Maridjan apa? Dia jawab, apa saja. Saya usulkan soal kearifan lokal dan perkembangan teknologi. Mas Wawan kemudian mengeluarkan block note-nya dan mencatat hal-hal yang perlu dikembangkan. Saya lihat ia bawa dua tas, tas punggung dan sebuah tas laptop.
Usai makan, kami berangkat lagi. Kira-kira baru sampai Dusun Beduyu, sekitar 9 kilometer dari Merapi, saya mendapat telepon dari Balai Penelitian Kegunungapian, diinformasikan bahwa terjadi erupsi ke arah barat sejauh 7 kilometer. Saya memang minta diinformasikan kalau ada hal-hal yang emergency. Kami tetap melaju kencang ke utara, ke Dusun Kinahrejo.
Sebelumnya di jalan saya sempat tanya Mas Wawan, Anda sampai kapan di sini. Dia jawab sampai Kamis. Terus dia tanya, boleh saya menginap di rumah Mbah Maridjan. Saya jawab boleh, nanti saya sampaikan. Saat itu belum ada kabar erupsi.
Jam berapa saat itu?
Saya nggak perhatikan jam. Yang pasti, tidak lama kemudian terdengar suara adzan Maghrib, Mas Wawan sempat SMS dan telepon. Sesampai di rumah Dusun Kinahrejo, kami langsung bertemu putra Mbah Maridjan.
Kami kemudian bertemu Mbah Maridjan. Ngobrol-ngobrol, belum sempat cerita apa-apa, saya bilang kepada Mbah Maridjan, sudah terjadi erupsi di bagian barat sejauh 7 kilometer, orang-orang mau saya bawa si Mbah turun nggak? tanya saya. Waktu itu Mbah Maridjan hanya diam saja.
Saya, Mas Tutur dan Mas Wawan kemudian stand by di mobil, menunggu orang-orang salat di masjid dekat rumah Mbah Maridjan. Baru rakaat pertama, terdengar sirene tanda bahaya. Beberapa wartawan dan petugas PLN yang sedang mengecek jaringan kemudian saya suruh pergi duluan (mengungsi).
Saya menunggu yang sedang salat, keluarga Mbah Maridjan dan tetangga-tetangganya. Begitu selesai salat, saya minta semua naik mobil, Mas Wawan juga, tapi dia tidak mau masuk. Akhirnya saya paksa, dia mau juga masuk ke dalam mobil. Waktu itu ada dua mobil, satu mobil Mbah Maridjan yang membawa keluarganya, tanpa Mbah Maridjan, dan satu mobil saya yang membawa serta warga sekitar situ.
Di jalan juga banyak warga yang sedang dievakuasi. Kemudian kami sampai di pengungsian Umbulhardjo. Tapi saya tidak langsung bawa keluarga Mbah Maridjan ke pengungsian, karena bisa ribut nanti. Saya takut mereka jadi bulan-bulanan, akhirnya saya putuskan mereka diungsikan ke rumah saya. Orang-orang kemudian turun dari mobil saya.
Sebelumnya saat perjalanan turun, Mas Wawan mengeluh, "Harusnya saya bersama si Mbah" . Itu dia ulang-ulang sampai 3-4 kali. Saya sampai diam saja.
Apa yang terjadi setelah itu?
Saya tidak tahu atas inisiatif siapa, kerabat saya Tutur bilang, "Pak saya mau jemput si Mbah". Saya sempat bilang, kamu jangan sembrono, jangan gegabah. Karena keinginan yang kuat, mereka berdua naik lagi.
Kira-kira 10 menit perjalanan, perkiraan saya mereka sudah sampai ke sana (Kinahrejo), sudah terasa cuaca panas, erupsi terjadi. Saya coba telepon Mas Wawan dan Tutur, dua-duanya, tapi tidak ada yang nyambung. Saya sendiri masih di barak pengungsian, belum bergerak dari posisi semula. Suara sirene terdengar sahut menyahut. Itu terakhir saya kontak mereka.
Ada hal-hal yang menarik selama pertemuan dengan Mbah Maridjan?
Ada satu, ini satu hal yang tidak pernah dilakukan Mbah Maridjan. Biasanya si Mbah tidak mau duduk satu kursi dengan tamunya, di kursi panjang misalnya. Dia kalau ada tamu dan bicara selalu berhadapan, si tamu pasti di depannya. Kalau tamu duduk disampingnya, Mbah Maridjan merasa seolah-olah dia mengenyampingkan tamunya dan Mbah Maridjan merasa tidak enak.
Tapi kali ini nggak, Mbah Maridjan tidak keberatan Mas Wawan duduk disampingnya, Mbah juga terlihat santai saja. Ini tidak pernah dilakukan sebelumnya.
Baru tadi pagi saya diberitahu, Mbah Maridjan sudah tidak ada, dia ditemukan sedang sujud di atas sajadah di dalam kamarnya.
Saya juga menyampaikan duka cita sedalam-dalamnya kepada seluruh keluarga dan VIVAnews atas wafatnya Mas Wawan. (hs)
• VIVAnews


0 komentar:
Posting Komentar